Sunday, May 22, 2016

Rasa ini sesak. Karena aku tahu, kau pantas aku tunggu. Diammu, marahmu, emosi senegatif apapun pasti luruh hanya karena seulas senyum di bibir mungilmu.

Jangan murung. Aku tak ingin merusak harimu. Senyumlah, karena ataupun bukan karenaku. Kamu tahu, senyummu punya energi bahagia untukku.

Rindu, kamu yang paling tahu bagaimana dia menjejal ruang hatiku. Sebagian besar kusimpan sendiri dia dalam tidurku.

Aku tunggu. Karena pulangmu selalu menjadi bagian favoritku.

--
07.13

Habis

Aku berhutang pada tensimeter itu.
Pada kasihmu bagi seorang ibu.
Untuk senyum menyemangatiku.
Yang tak tahu bagaimana aku membalasmu.

Aku malu pada waktu yang tak menentu.
Pada detik yang berlalu.
Emosi yang memuncak selalu.
Dan pada cermin bayang wajahku.

Ratusan kilometer.
Aku kehabisan kata.
--

Diam

Kamu diam?
Tapi aku tahu kamu tidak..
Mungkin kamu hanya ingin mendiamkan.
Diam seraya mencari waktu sendiri dan berbincang dengan diri.

Atau mungkin kamu memang diam?
Mendiamkanku dan cengkrama dengan yang datang.
Kata mereka, intensitas waktu berkurang untuk seseorang akan berbanding terbalik jumlahnya dengan satu sosok yang lebih nyaman.
Mungkin bagimu aku bukan lagi yang paling mahal, jelas aku barang murahan.
Memang.

Diam?
Ini bukan kaliku pertama bertemu dendam.
Paling sebentar lagi diam, kamu lalu mulai cari yang namanya alasan.
Lalu membuka pintu, lantas keluar.
Berdiam, tanpa pamitan.

Aku menunggu dalam diam.
Menerka dan bersabar.
Aku tak terkejut bila kamu hilang, selamanya.
Sudah kodratnya kau yang baik segalanya, tak denganku yang bahkan tak tahu lebihnya apa.
Aku pasti ikhlaskan.

Aku biasa didiamkan.
Ditinggalkan.
Pasti kulepas, tak kutahan.
Dengan diam.
--

Saturday, May 21, 2016

Bayang hitammu mirip dengan kelam laluku, sisi gelapku. Pada akhirnya terang dan gelap berjodoh untuk tak pernah bertemu.

Jangan bodoh dengan yang kau sebut mimpi.

Luruh aku

Aku benci kamu, dengan segala kelebihanmu..
Kamu cerdas, rajin, dan tak kalah penting, kamu mengambil hatiku.
Sayang, aku membencimu kala aku harus lewati detak jam hanya menunggu. Memerhatikan layar kosong, dengan hati penuh. Aku hampir mati.

Aku benci kamu, dengan segala kebaikanmu.
Kikikmu seraya menutup ulas senyum, membuatku kelu. Lama tak kulihat kamu, mungkin kamu sibuk dan berbahagia dalam penat (katamu).
Tapi tak apa, bahagiamu memang terpenting. Terbanglah sesukamu, bila ada sekelebat aku, siapa tahu kamu ingin kembali, aku disini. Selalu di sudut yang sama antara dua garis itu.
Bila ternyata kepakmu terlalu jauh dan buat kamu lupa, jangan hirau aku, karena kebebasan tak bisa dibayar mata uang manapun.

Aku benci kamu, dan jarak.
Antara pulau kita terbagi, Selat Sunda dan baling-baling pesawat. Mungkin ini lancang, tapi aku mau ada bandara dan pelabuhan di sekat jantungmu, jadi aku bisa kesana kapanpun aku mau. Tidur bersama degup yang membuatmu hidup. Aku ingin ada disitu.

Biarkan aku erat memelukmu, rindu.

--

Wednesday, May 18, 2016

Untuk pergi

'Aku terbiasa dengan perpisahan.'
Kata yg terakhir aku terima hari ini, darimu. Ketika kamu kembali bersikukuh untuk pergi, lagi.

Mengapa pergi?


Padahal dirimu persiapanku untuk nanti, sandaran kuat yang kurasa mampu menopang ketika masalah buatku goyah.
Tapi ternyata, bersandarnya akulah yang membuatmu lelah. Keegoisan diriku yang membuatmu berhenti.


Mematung, pertahanan terakhirku luluh, akhirnya terucap persetujuan dirimu pergi.


Sabar, tahan sedikit lagi. Pasti aku akan terbiasa untuk tak lagi menghirup nafasmu, atau sekedar merindukan pelukan selamat pagi.


Kamu sudah terlanjur masuk ke dalam hidupku.
Dan kini kamu meminta kubukakan pintu, untuk pergi..


Terima kasih untuk tidak pergi selama ini..

--
ntah tulisan ini selesai kapan..

Tuesday, May 17, 2016

Commerce, 44000

Hai, sibuk. Terlalu dekatkah aku melihatmu? Karena ternyata lensaku kehilangan fokus dari tak berjarak ini.
Putaran pikiran sekejap menggila karena ide yang berserakan. Penuh, namun acak karenamu.

Mimpiku semalam, kembali padamu. Bertemu dengan sahabat lama dan diberi peluk. Hangat yang terasa nyata dan tak sedingin suhumu.

Izinkan aku suatu saat kembali untuk menghirup udara kebebasan itu. Sekalipun aku harus terkungkung disiplin ilmu, tapi aku bahagia karena aku dipaksa belajar untuk mewarna rasa.

Minus beku menusuk tulang, terik musim panas membakar kulit. Betapa berharga sepotong rendang dan nasi goreng. Berbagi aku di tiap buka mata, sekalipun kesal kala itu tapi saat ini aku sungguh ingin mendekapmu kini. Tak kusadar ternyata kamu menjadi tulisan tak terpupus waktu.

Dua tahun sudah berlalu..
Aku tak sanggup menahan lagi..
Maaf, aku pergi tanpa banyak bercerita soalmu.
Tunggu aku, aku akan kembali dan menyudahi cerita ini..

Thursday, May 12, 2016

Pada akhirnya aku hanya cemas usaha ini runtuh, sisakan kecewa.
Karena langit yang sama tak membiarkan dua doa berbeda.