Friday, August 30, 2019

Jalang

Bara baru saja pulang ketika aku masih menonton acara di televisi. Tentu aku tidak menontonnya, aku hanya hidupkan untuk usir sepinya ruangan ini. Aku menoleh sedikit dan beri senyum padanya. Ia terlihat sangat lelah, letih sepulang kerja, biasa. Hal yang selalu kutemui bertahun belakang ini. Beberapa tahun yang tak pernah terbayang akan seberat ini. Padahal dulu aku merasa bahagia bertemu dengannya. Sekarang rasanya biasa saja. Ya, Bara adalah suamiku, dia memilihku karena aku adalah sosok yang tepat baginya. Padahal mungkin tidak.

Aku mau menjadi istrinya dengan syarat tetap menempati tempat ini dan tak perlu pindah. Ruangan ini dulu kurasa luas, dengan rak buku di ujung ruangan berdekatan dengan jendela, dimana aku biasa duduk sambil baca dan melihat pemandangan yang berubah sesuai dengan musim. 

"Maaf, aku harus aborsi janinku.", Aku buka pembicaraan padanya. Bara mengernyitkan dahi. Jelas dia bingung dengan perkataanku barusan. Mungkin akan marah, tak tertebak.

Aku lalu terfokus pada kembang plastik yang tak pernah layu. Aku tak tahu harus bilang apa padanya. Aku ingin punya keturunan yang bisa buat orang mengenaliku, tapi beberapa perkataan yang keluar dari mulutnya padaku beberapa hari lalu betul-betul buatku sakit hati. Mungkin dalam pikirannya aku hanyalah Jalang.

Baik, aku memang bukanlah perempuan baik-baik. Dunia malam sempat jadi sahabatku, bergonta-ganti pasangan bukanlah hal baru, tapi menyoal kesetiaan, itu hal lain. 

Anak pertamaku mati setelah beberapa hari ada di dunia. Dia lahir tanpa tangis, seperti bisu. Dia lahir diam-diam memang. Dia baru saja bisa menangis dan belum membuka mata. Tapi apa daya, cacat pada jantung yang dialami buat dia tidak bisa bertahan lama. Padahal aku sangat ingin ia dikenal oleh semua orang. 

Anakku memang mati tanpa banyak cerita. Aku sama sekali tak sedih, aneh kan? Aku berpikir bahwa Tuhan begitu baik padaku, mungkin Ia memang sengaja ambil kembali anak pertamaku karena kejam dunia akan sangat buruk baginya. Atau sekedar karena aku salah memberinya nama yang tak berupa doa?

Jabang bayiku ini, baru kupikirkan beberapa nama yang mungkin pas disandangnya waktu dia lahir ke dunia busuk ini. Beberapa nama bisa buat senyum tanpa alasan, beberapa nama aneh sudah kupersiapkan bahkan. Tapi hal yang dilakukan belahan jiwaku beberapa hari lalu buatku putuskan dia lebih baik tidak dilahirkan. Egois? Iya aku tahu, tapi itu lebih baik dibanding aku dituduh seumur hidup. Aku punya alasan.

Aku berjalan mendekati rak buku, kuambil satu buku favoritku, lalu duduk di kursi dekat jendela. Aku menghirup udara dingin malam ini, kulihat langit yang tak berbintang.

Aku bahkan tak bisa dengar apa yang suamiku katakan padaku setelahnya. Mimpiku seolah ambruk, aku terkecewa. Tak penting memang. Tapi sudahlah. Akupun tak peduli.

--

Monday, August 26, 2019

Kata orang jatuh cinta itu luar biasa. Sama seperti yang aku rasakan hari ini. Aku merasa sulit berpikir sejak kamu lepas pelukan itu. Keluar bandara aku bingung arah mana untuk menuju halte. Begitupun ketika di dalam bus menuju apartemen. Tak bisa aku menahan diri tak curi pandang. Sesekali kamu sadar, banyak kali lainnya kamu tak peduli. Kamu sempat bertanya, 'Is there something in my face?' juga canda 'Why are you keep looking at me? Do you wanna kiss me?' Katamu dengan muka menyelidik membercandaiku.

Aku bahkan tak sempat tawarkan bantu bawakan barangmu. Untunglah kamu tidak protes sama sekali. Tipikal wanita mandiri.

Sejak semalam, aku merasa ada yang sedikit berubah dari hati ini. Mungkin sebab peluk yang kamu beri atau karena akhirnya aku ada teman bincang semalaman?

Bagaimana tidak, aku hidup sendiri di apartemen ini. Apartemen yang tersewa karena aku ingin menghargai diri dan merasa nyaman ketika pulang dari kantor. Biasanya ketika penat aku hanya bisa buka jendela, menuju balkon, lalu menikmati sekaleng bir ditemani rokok dan pikiran penuh. Aku tak terbiasa bercerita, mungkin karena 

Atau sesederhana karena ada yang menarik perhatianku dan buatku ingin bertemu segera?

Am i being drama? Is it normal? Well, i don't care..

Sudahlah, ada baiknya aku pulang cepat, toh di sini aku tak bisa bekerja. Sedari pagi aku hanya buka-buka kerjaan tanpa mengerjakan satu apapun.

Aku kacau. Kacau yang menyenangkan.

--