Friday, December 27, 2019

Kata orang, bila lelah maka istirahatlah. 

Aku sedang jenuh. Mungkin harus cari jalan keluar dari aktivitas ini. Mengubah jadi rutinitas, mungkin?

Wednesday, December 25, 2019

Roda pesawat berdecit ketika bertemu dengan lintasan penerbangan. Kulirik jam tangan baru pemberian dari kakakku. "Biar tahu waktu.", Katanya.

Pukul 09.25. Tepat sembilan jam sejak kami menapaki bumi Indonesia. Aku mengedarkan pandangan, sudah banyak orang terbangun karena sadar akan pendaratan ini. Aku mencoba melihat lingkungan baru, langit masih gelap. Samar aku berusaha mendengar pengumuman melalui pengeras suara. "Ladies and Gentlemen, welcome to Hamad International Airport, Qatar. Local time is 05.25 and the temperature is 12°C".

Aku tertegun, ternyata masih subuh disini. Sembari menunggu aku melihat ponsel usangku. Tak ada sinyal. Kucoba aktifkan koneksi, ada sms masuk. Beberapa mengirimkan doa, beberapa membalas pesan berpamitan yang kukirim ke beberapa orang sebelum lepas landas tadi.

"Semoga perjalanannya menyenangkan ya! Kabari bila sudah sampai."

"Iya. Pasti didoakan, Nak. Selamat belajar, tetap kabari Ibu. Nanti kalau pulang ke Indonesia main ke rumah jangan lupa."

"Hei!! Berangkat kok ga bilang-bilang! Aku mau kasih kado padahal!! Huh!!!"

Senyumku terkembang. Beberapa pesan dari orang-orang terdekat yang buatku gatal ingin balas segera. Namun tetiba Aku mengurungkan diri untuk membalas. Karena sadar biaya pengiriman sms yang tidak murah bagiku. "Nanti sajalah.", pikirku.

Aku masukkan kembali ponselku ke saku tas. Sudah sekitar lima menit sejak pesawatku menjejak bumi, tapi kami belum kunjung berhenti. "Bandara ini sangat besar!", suara di kepalaku berbicara. Aku tak sabar melihat-lihat bagaimana isi  Perlahan badan kapal terbang mendekat ke salah satu garbarata, tanda sebentar lagi penumpang pesawat bisa turun.

Setelah pesawat benar-benar berhenti. Penumpang dipersilakan turun, aku kagum karena kurasa lebih tertib proses penurunan penumpang ini. Tidak terkesan buru-buru seperti yang biasa kulihat. Ada memang yang terlihat ingin segera turun, tapi hanya segelintir.

Akhirnya tiba giliranku untuk meninggalkan pesawat. Baru saja menjejak garbarata atau tangga belalai, hawa dingin segera kurasa. saking senangnya aku tidak perhatikan semua orang pakai jaket tebal. Hanya aku pakai baju seadanya. Hehe.

"Atis yo, Cip (Dingin ya, Cip).", Ujar Mbak Nurul.

Aku baru sadar kalau aku bersama dia.

Hehe.

--

Monday, December 23, 2019

Aku tertegun di tempat dudukku, membayangkan novelku yang tak jadi kuselesaikan. Menyedihkan karena aku harus berangkat pindah ke negara lain. Meninggalkan pekerjaan lamaku, mengejar studi lanjut. Suatu capaianku paling keren dalam hidup.

Aku menikmati perjalanan pertamaku ke luar negeri ini. Baru ini aku rasa terbang setinggi ini. Ntah berapa ribu meter dari permukaan bumi. Cara pesawat ini meredam getaran, ukuran burung besi yang begitu besar, kenyamanan kursi kelas ekonomi yang bagai kelas satu, dan semua hal baru lain.

Kulirik jam, sudah hampir delapan jam aku mengudara. Berarti sebentar lagi aku akan landing di terminal internasional di Doha. Perjalananku dibiayai negara dan aku begitu bangga atas raihan itu.

Kulepas headset yang menempel di telinga dan terhubung pada kursi pesawat. Kusenggol perempuan di sebelahku, teman seperjuangan yang beberapa bulan terakhir banyak bersamaku demi mengejar beasiswa negara.

'Koyone wis meh tekan, Mbak (Kayanya udah mau sampai, Mbak).' aku berujar padanya.

'Hé èh, wis pegel ki aku, Cip. (Iya, aku udah pegel nih).', dia membalas.

Tak lama dia kembali terlelap. Aku mahfum karena kami take off dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 00.25. Baru sedikit lewat tengah malam. Bukan kebiasaannya mungkin begadang. Mataku begitu lebar terbuka di tempat ini. Tapi, itu bukan berarti aku tidak lelah. Aku lelah, tapi rasa penasaran juga semangat menyambangi tempat baru buatku punya tenaga lebih, terlalu bersemangat bahkan.

Hari kemarin aku masih di kota kelahiranku dan beranjak ke Ibukota untuk urus dokumen terakhir di sebuah kementerian. Selarik surat yang buatku legal pergi menuju benua baru. Beberapa paragraf yang menyatakan akulah seorang pantas penerima bea dari negara.

Aku kembali pandangi langit di kejauhan. Jamku menunjukkan pukul 08.13 namun ufuk langit masih terlihat biru. Matahari belum juga muncul dari peraduan, lama sekali proses terbitnya. Mungkin karena penerbangan ini menuju barat, sehingga terbit matahari terkesan lama. Proses matahari terbit kala itu memiliki durasi terlama terjadi dalam hidupku, dan paling berkesan.

Aku sekali lagi tenggelam pada sejuta pikiran dan angan. Bayangan hidup di tempat baru. Lintasan wajah mereka yang baru saja kutinggalkan dan telah kurindu. Serta misteri apa saja yang mungkin terjadi selama aku menempuh hidup di negara itu.

Matahari belum juga muncul. Ujung langit merekah jingga. Sangat indah.

Aku masih terus tersenyum ketika kurasa perlahan ketinggian kami berkurang. Halus sekali. Mataku masih lekat di jendela, kami menuruni awan, tak lama terlihat lampu kota. Kusenggol sekali lagi perempuan di sebelahku.

'Mbak, wis tekan (Mbak, sudah sampai).', Ujarku.

--
Doha, 09.10
Ntah rasa apa lagi ini,
Aku begitu takjub melihat gelak itu,

Lalu, aku berlalu.
Mencariku
Mencari aku

Sudah terikat, tak bisa lepas, tak lagi bebas, tapi bukan serikat.

Kait saling mengait,
berkait
terhimpit menjerit,

tanpa suara.

Lalu, siapa temanku?
Kalo lagi nelpon itu mbok ya diem jangan jalan-jalan gitu. Duduk gitu lho, biar kaya bos-bos..

Sunday, December 22, 2019

If our love is tragedy why are you my remedy?

Love is insanity tho.

Saturday, December 14, 2019

Ada masa dimana jiwa dan akal terasa letih. Hingga untuk mengeluh atau berprotes saja terasa berat. Diam adalah salah satu pilihan terbaik yang menenangkan.

Dan menyenangkan.

Sunday, December 8, 2019

Mengenai rela, buka hati, dan rindu.

Sulit buka hati buat rasa baru belum tentu karena belum rela. Bisa saja, rela sudah, tapi belum bertemu yang menarik. Atau, sudah ikhlas tapi masih asik dengan dunia baru bisa juga kan? Merelakan khas dengan ikhlas. Ikhlas bukan berarti tidak rindu ya. Sesekali ingin lihat momen tertentu di masa lalu itu manusiawi kok. Toh katanya, guru adalah pengalaman terbaik, bukan? Merindu dan melihat peristiwa yang sudah terjadi adalah salah satu cara belajar paling efektif.
Simpulanku: Merelakan adalah bisa berjalan bebas tanpa rasa terganggu. Bertemu hati baru untuk kemudian jatuh hati seringkali butuh waktu. Tapi soal rindu, itu hak manusia untuk buka kotak memori dan berkelana kilas balik waktu. Rela, buka hati, rindu.

--
Obrolan singkat dengan pendengar radio.

Monday, December 2, 2019

Aku benci dengan kata-kata,
dimana aku bisa menumpah rasa, menggambar rindu,
dan menuangkan apa yang tak tersampaikan pada makhluk.

Aku tak lagi suka dengan hujan dan basa,
karena ia mampu memulangkan yang lalu.
baunya buat tenang dan hanyut dalam pikiran tak perlu.

Kini aku mendewasa, tak melulu hanyut mimpi biru,

Realita?

Itu yang kujalani dan kucintai kini;

Tak terulang, kala hembusan angin begitu kuat, berjalan menantang bahaya, tertidur dengan tak khawatir akan misteri esok.

--
Bukan, ini bukan tentang aku juga kamu (Ciptaan Cipta)