Sunday, June 21, 2020

Masih teratur dan bisa kubuka kapanpun bersama pengabadi suasana.

Sebuah foto yang dikirim oleh seorang sahabat kala suka duka. sahabat yang menyebalkan dan selalu siap mendengar cerita. Kini kami sudah mendewasa ternyata, bersama segala kesibukan dunia, kesibukan mengisi hari dan kebutuhan. Tapi cerita kebodohan yang telah terbuat selalu asik dijadikan bahan tawa kala jumpa.

Dia mengirimkanku ini.



Di tengah kantuk aku merasa pilu.
Masih dengan aku.
Dan semua semangat di masa mudaku.

Kacamata hijau yang selalu kubangga karena menyisa cerita di suatu pesta.
Baju v-neck yang kalau kupakai disini pasti buat dicerca.
Celana yang kubeli bersama seorang pebasket Nantes yang kebetulan satu kota.
Sepatu yang hilang di masjid kala aku kerja.
Topi yang tertinggal di bus bandara.
Tas yang menjamur karena tak terawat.
Serta cardigan abu-abu di suatu tempat di Jakarta.

Aku yakin salah satu kebahagiaanku kala itu adalah karena beratku tak menyentuh 80 kilogram kurasa.

Indah dan masih tersimpan rapi. Bersama segala memori yang menguak tak tertahan. Sekecil ingin lagi melihat indahnya biru langit di Eropa.

Menua itu menyebalkan kata mereka di sekelilingku.
Tapi tidak bagiku.
Karena memori selalu hidup bersamaku.

--
Jati

Saturday, June 6, 2020

Memuja Gelar

Barusan suatu grup alumni lulusan luar negeri ramai. Ramai yang tiba-tiba. Menyoal seorang rekan yang menikah tanpa memasukkan gelar akademik yang diterima dari sebuah universitas ternama di sebrang benua.

- ada yang setuju
- ada yang tidak setuju
- ada yang tidak peduli

Terlepas setuju tak setuju, bagi saya pencantuman gelar akademik bukan sebuah masalah. Pride? Bisa jadi. Aktualisasi? Boleh saja. Saat ini, bagi saya tidak penting. Tidak tahu besok ya. Ehehe.

Terserah, tiap pihak boleh berpendapat. Yang tidak berpendapat juga tidak masalah. Saya kala ini di golongan yang ketiga soalnya. Mau diberi atau tidak ya tidak masalah. Itu informasi kok. Mau diterima bagus, engga ya gapapa. Ga dicantumkan? Ya bukan sebuah masalah juga.

Karena semakin menua, saya semakin sadar. Bermasyarakat bahkan bernegara seringkali tidak memerlukan gelar untuk memilii suatu kualitas. Ada yang sudah bergelar doktoral di usia muda, tapi ketika terjun ke lapang masih harus belajar. Ada yang tidak memiliki gelar di bidang tertentu tapi nyatanya ahli di bidangnya. Gelar itu untuk menunjukkan ahli di bidang tertentu, capaian tertentu. Tapi menyoal kualitas? Tergantung batu asahan yang dipakai sepanjang perjalanan nafas ditarik-hembus.

Saya? Saya mencantumkan gelar. Hehe.

Hidup itu pembelajaran.

--
Preference. Gausah diributin. 
Tapi kalau prefer ribut? Ya silahkeun...

Friday, June 5, 2020

Ring 1

- Oh udah berubah haluan?

Pantes aja sulit banget dicari. -

-

Eh iya, seorang pejabat dua hari yang lalu nelpon gue. Nanyain kabar dan gimana kesibukan sekarang.

Iya, gue juga aga heran dengan telpon yang masuk di jam 22.23 itu. Tapi ya namanya pejabat, kerja mulu sik. Jadi ya diantara Mbak Aisyah bobo (yang selalu) unyu, gue buru-buru ke luar kamar buat angkat.

'Assalamualaykum, Pak.' Gue memulai pembicaraan.

'Waalaykumsalam, Pak Jati. Wah sudah lama sekali saya tidak menelpon, kira-kira mengganggu kah?' Pertanyaan dari ujung sana yang jelas ga akan gue balas dengan jawaban 'Iya, Pak.'.

'Oh tidak pak, kebetulan ini baru selesai pekerjaan, lagi nonton TV.', Jawabku.

Pembicaraan berlanjut dengan bertanya kabar dan kesibukan. Singkat cerita beliau menanyakan mengena bisnis yang gue jalankan dan kondisi lapangan di Lampung. Ternyata beberapa pejabat melirik Lampung untuk lahan bisnis yang oke. Tapi (saat ini) mereka belum punya PIC.

Kok mereka tidak turun sendiri? Yah, orang lingkar dalam yang sibuk meng-Indonesia seperti mereka bukan tipe merintis dan memastikan usaha berkembang. Lebih mudah bagi mereka untuk memercayakan pada yang dipercaya. Dan kali ini, gue dikasih penawaran yang sulit gue tolak.

Singkat cerita, dalam waktu dekat kalau tidak berkesibukan, gue akan diundang ke Jakarta. Otomatis gue ragu bisa berangkat apa engga karena memang Covid19 ini bikin ga leluasa bergerak. Guepun bertanya, 'Lah kalo gapunya SIKM apa saya bisa ke Jakarta, Pak?' Tanya gue polos.

'Lho, kalau pejabat negara kan boleh, Pak? Hehe.' Balas enteng suara di seberang sana.

Seketika gue nyengir.

--

Monday, June 1, 2020

Halo, Yes.

Halo, Yes.
Apakabar kembali?

Surat ini kubuat karena baru saja kudengar sajak dari seorang teman untukmu.
Yang aku pun tak tahu, kamu akan mendengar atau tidak.

Aku tak kenal sosokmu, tapi aku tahu rasanya jatuh dan goyah untuk berdiri.
Kontak pertemamu dengannya yang begitu buat berbunga.

--