Friday, December 27, 2019

Kata orang, bila lelah maka istirahatlah. 

Aku sedang jenuh. Mungkin harus cari jalan keluar dari aktivitas ini. Mengubah jadi rutinitas, mungkin?

Wednesday, December 25, 2019

Roda pesawat berdecit ketika bertemu dengan lintasan penerbangan. Kulirik jam tangan baru pemberian dari kakakku. "Biar tahu waktu.", Katanya.

Pukul 09.25. Tepat sembilan jam sejak kami menapaki bumi Indonesia. Aku mengedarkan pandangan, sudah banyak orang terbangun karena sadar akan pendaratan ini. Aku mencoba melihat lingkungan baru, langit masih gelap. Samar aku berusaha mendengar pengumuman melalui pengeras suara. "Ladies and Gentlemen, welcome to Hamad International Airport, Qatar. Local time is 05.25 and the temperature is 12°C".

Aku tertegun, ternyata masih subuh disini. Sembari menunggu aku melihat ponsel usangku. Tak ada sinyal. Kucoba aktifkan koneksi, ada sms masuk. Beberapa mengirimkan doa, beberapa membalas pesan berpamitan yang kukirim ke beberapa orang sebelum lepas landas tadi.

"Semoga perjalanannya menyenangkan ya! Kabari bila sudah sampai."

"Iya. Pasti didoakan, Nak. Selamat belajar, tetap kabari Ibu. Nanti kalau pulang ke Indonesia main ke rumah jangan lupa."

"Hei!! Berangkat kok ga bilang-bilang! Aku mau kasih kado padahal!! Huh!!!"

Senyumku terkembang. Beberapa pesan dari orang-orang terdekat yang buatku gatal ingin balas segera. Namun tetiba Aku mengurungkan diri untuk membalas. Karena sadar biaya pengiriman sms yang tidak murah bagiku. "Nanti sajalah.", pikirku.

Aku masukkan kembali ponselku ke saku tas. Sudah sekitar lima menit sejak pesawatku menjejak bumi, tapi kami belum kunjung berhenti. "Bandara ini sangat besar!", suara di kepalaku berbicara. Aku tak sabar melihat-lihat bagaimana isi  Perlahan badan kapal terbang mendekat ke salah satu garbarata, tanda sebentar lagi penumpang pesawat bisa turun.

Setelah pesawat benar-benar berhenti. Penumpang dipersilakan turun, aku kagum karena kurasa lebih tertib proses penurunan penumpang ini. Tidak terkesan buru-buru seperti yang biasa kulihat. Ada memang yang terlihat ingin segera turun, tapi hanya segelintir.

Akhirnya tiba giliranku untuk meninggalkan pesawat. Baru saja menjejak garbarata atau tangga belalai, hawa dingin segera kurasa. saking senangnya aku tidak perhatikan semua orang pakai jaket tebal. Hanya aku pakai baju seadanya. Hehe.

"Atis yo, Cip (Dingin ya, Cip).", Ujar Mbak Nurul.

Aku baru sadar kalau aku bersama dia.

Hehe.

--

Monday, December 23, 2019

Aku tertegun di tempat dudukku, membayangkan novelku yang tak jadi kuselesaikan. Menyedihkan karena aku harus berangkat pindah ke negara lain. Meninggalkan pekerjaan lamaku, mengejar studi lanjut. Suatu capaianku paling keren dalam hidup.

Aku menikmati perjalanan pertamaku ke luar negeri ini. Baru ini aku rasa terbang setinggi ini. Ntah berapa ribu meter dari permukaan bumi. Cara pesawat ini meredam getaran, ukuran burung besi yang begitu besar, kenyamanan kursi kelas ekonomi yang bagai kelas satu, dan semua hal baru lain.

Kulirik jam, sudah hampir delapan jam aku mengudara. Berarti sebentar lagi aku akan landing di terminal internasional di Doha. Perjalananku dibiayai negara dan aku begitu bangga atas raihan itu.

Kulepas headset yang menempel di telinga dan terhubung pada kursi pesawat. Kusenggol perempuan di sebelahku, teman seperjuangan yang beberapa bulan terakhir banyak bersamaku demi mengejar beasiswa negara.

'Koyone wis meh tekan, Mbak (Kayanya udah mau sampai, Mbak).' aku berujar padanya.

'Hé èh, wis pegel ki aku, Cip. (Iya, aku udah pegel nih).', dia membalas.

Tak lama dia kembali terlelap. Aku mahfum karena kami take off dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 00.25. Baru sedikit lewat tengah malam. Bukan kebiasaannya mungkin begadang. Mataku begitu lebar terbuka di tempat ini. Tapi, itu bukan berarti aku tidak lelah. Aku lelah, tapi rasa penasaran juga semangat menyambangi tempat baru buatku punya tenaga lebih, terlalu bersemangat bahkan.

Hari kemarin aku masih di kota kelahiranku dan beranjak ke Ibukota untuk urus dokumen terakhir di sebuah kementerian. Selarik surat yang buatku legal pergi menuju benua baru. Beberapa paragraf yang menyatakan akulah seorang pantas penerima bea dari negara.

Aku kembali pandangi langit di kejauhan. Jamku menunjukkan pukul 08.13 namun ufuk langit masih terlihat biru. Matahari belum juga muncul dari peraduan, lama sekali proses terbitnya. Mungkin karena penerbangan ini menuju barat, sehingga terbit matahari terkesan lama. Proses matahari terbit kala itu memiliki durasi terlama terjadi dalam hidupku, dan paling berkesan.

Aku sekali lagi tenggelam pada sejuta pikiran dan angan. Bayangan hidup di tempat baru. Lintasan wajah mereka yang baru saja kutinggalkan dan telah kurindu. Serta misteri apa saja yang mungkin terjadi selama aku menempuh hidup di negara itu.

Matahari belum juga muncul. Ujung langit merekah jingga. Sangat indah.

Aku masih terus tersenyum ketika kurasa perlahan ketinggian kami berkurang. Halus sekali. Mataku masih lekat di jendela, kami menuruni awan, tak lama terlihat lampu kota. Kusenggol sekali lagi perempuan di sebelahku.

'Mbak, wis tekan (Mbak, sudah sampai).', Ujarku.

--
Doha, 09.10
Ntah rasa apa lagi ini,
Aku begitu takjub melihat gelak itu,

Lalu, aku berlalu.
Mencariku
Mencari aku

Sudah terikat, tak bisa lepas, tak lagi bebas, tapi bukan serikat.

Kait saling mengait,
berkait
terhimpit menjerit,

tanpa suara.

Lalu, siapa temanku?
Kalo lagi nelpon itu mbok ya diem jangan jalan-jalan gitu. Duduk gitu lho, biar kaya bos-bos..

Sunday, December 22, 2019

If our love is tragedy why are you my remedy?

Love is insanity tho.

Saturday, December 14, 2019

Ada masa dimana jiwa dan akal terasa letih. Hingga untuk mengeluh atau berprotes saja terasa berat. Diam adalah salah satu pilihan terbaik yang menenangkan.

Dan menyenangkan.

Sunday, December 8, 2019

Mengenai rela, buka hati, dan rindu.

Sulit buka hati buat rasa baru belum tentu karena belum rela. Bisa saja, rela sudah, tapi belum bertemu yang menarik. Atau, sudah ikhlas tapi masih asik dengan dunia baru bisa juga kan? Merelakan khas dengan ikhlas. Ikhlas bukan berarti tidak rindu ya. Sesekali ingin lihat momen tertentu di masa lalu itu manusiawi kok. Toh katanya, guru adalah pengalaman terbaik, bukan? Merindu dan melihat peristiwa yang sudah terjadi adalah salah satu cara belajar paling efektif.
Simpulanku: Merelakan adalah bisa berjalan bebas tanpa rasa terganggu. Bertemu hati baru untuk kemudian jatuh hati seringkali butuh waktu. Tapi soal rindu, itu hak manusia untuk buka kotak memori dan berkelana kilas balik waktu. Rela, buka hati, rindu.

--
Obrolan singkat dengan pendengar radio.

Monday, December 2, 2019

Aku benci dengan kata-kata,
dimana aku bisa menumpah rasa, menggambar rindu,
dan menuangkan apa yang tak tersampaikan pada makhluk.

Aku tak lagi suka dengan hujan dan basa,
karena ia mampu memulangkan yang lalu.
baunya buat tenang dan hanyut dalam pikiran tak perlu.

Kini aku mendewasa, tak melulu hanyut mimpi biru,

Realita?

Itu yang kujalani dan kucintai kini;

Tak terulang, kala hembusan angin begitu kuat, berjalan menantang bahaya, tertidur dengan tak khawatir akan misteri esok.

--
Bukan, ini bukan tentang aku juga kamu (Ciptaan Cipta)

Tuesday, October 8, 2019

Monday, September 23, 2019

Bara adalah sosok idaman hampir setiap perempuan lajang., Memegang gelar Master of Business Administration dari kampus di Boston,  karirnya di dunia saham yang melejit, pemilik dari beberapa usaha mapan, lakunya yang santun lagi terlihat agamis, dan juga badannya yang kuakui (ehem) atletis.

Pertemuanku pertama dengan Bara terjadi beberapa bulan lalu. Kala itu aku sedang lari dari rutinitas pekerjaanku yang melelahkan di Jakarta. Aku bekerja di salah satu bank terkemuka. Aktivitas harian yang menjemukan serta tekanan dari atasan buatku muak, setelah hubungi beberapa teman kuliah, kami sepakat untuk ambil cuti beberapa hari dan liburan ke pulau di bagian timur Pulau Jawa.

Liburanku disana tak jauh dari alkohol dan aktivitas malam bersama teman. Hingga di pagi terakhir aku pulang dari klub dan mendapati diri jenuh serta tak bisa tidur sekalipun kepala ini berat. Aku putuskan untuk berjalan ke pantai yang tak jauh dari penginapan. Kuharap aku bisa mendapatkan damai dari melihat gulungan ombak yang berkejaran tak berhenti ke tepi pantai. Aku berjalan melewati beberapa kios-kios bermacam pedagang, mulai dari oleh-oleh hingga minuman khas pulau dewata. Aku hanya tersenyum melihat aktivitas pagi yang terlihat bersemangat menyongsong hari. Aku terus berjalan melewati jalan yang begitu hangat hingga sampai ke pantai yang terkenal akan matahari terbenamnya.

Aku memilih untuk duduk di salah satu tempat duduk yang menghadap laut. Alam selalu begitu terasa menenangkan seolah tak peduli seberapa banyak manusia terus merusak. Terbenam dalam pikiranku sendiri aku terus merasakan angin menyentuh lembut pipi. Aku merasa alam seolah menyindirku yang merundungi diri terus bekerja demi uang yang ntah untuk apa. Begitu mengalir menenangkan.

"Hai..", Suara yang begitu ramah bagai rumah buyarkan lamunanku..

Tuesday, September 17, 2019

Lalu bila tiba tiba aku patah dan malas membangun mereka? Bagaimana?

Friday, August 30, 2019

Jalang

Bara baru saja pulang ketika aku masih menonton acara di televisi. Tentu aku tidak menontonnya, aku hanya hidupkan untuk usir sepinya ruangan ini. Aku menoleh sedikit dan beri senyum padanya. Ia terlihat sangat lelah, letih sepulang kerja, biasa. Hal yang selalu kutemui bertahun belakang ini. Beberapa tahun yang tak pernah terbayang akan seberat ini. Padahal dulu aku merasa bahagia bertemu dengannya. Sekarang rasanya biasa saja. Ya, Bara adalah suamiku, dia memilihku karena aku adalah sosok yang tepat baginya. Padahal mungkin tidak.

Aku mau menjadi istrinya dengan syarat tetap menempati tempat ini dan tak perlu pindah. Ruangan ini dulu kurasa luas, dengan rak buku di ujung ruangan berdekatan dengan jendela, dimana aku biasa duduk sambil baca dan melihat pemandangan yang berubah sesuai dengan musim. 

"Maaf, aku harus aborsi janinku.", Aku buka pembicaraan padanya. Bara mengernyitkan dahi. Jelas dia bingung dengan perkataanku barusan. Mungkin akan marah, tak tertebak.

Aku lalu terfokus pada kembang plastik yang tak pernah layu. Aku tak tahu harus bilang apa padanya. Aku ingin punya keturunan yang bisa buat orang mengenaliku, tapi beberapa perkataan yang keluar dari mulutnya padaku beberapa hari lalu betul-betul buatku sakit hati. Mungkin dalam pikirannya aku hanyalah Jalang.

Baik, aku memang bukanlah perempuan baik-baik. Dunia malam sempat jadi sahabatku, bergonta-ganti pasangan bukanlah hal baru, tapi menyoal kesetiaan, itu hal lain. 

Anak pertamaku mati setelah beberapa hari ada di dunia. Dia lahir tanpa tangis, seperti bisu. Dia lahir diam-diam memang. Dia baru saja bisa menangis dan belum membuka mata. Tapi apa daya, cacat pada jantung yang dialami buat dia tidak bisa bertahan lama. Padahal aku sangat ingin ia dikenal oleh semua orang. 

Anakku memang mati tanpa banyak cerita. Aku sama sekali tak sedih, aneh kan? Aku berpikir bahwa Tuhan begitu baik padaku, mungkin Ia memang sengaja ambil kembali anak pertamaku karena kejam dunia akan sangat buruk baginya. Atau sekedar karena aku salah memberinya nama yang tak berupa doa?

Jabang bayiku ini, baru kupikirkan beberapa nama yang mungkin pas disandangnya waktu dia lahir ke dunia busuk ini. Beberapa nama bisa buat senyum tanpa alasan, beberapa nama aneh sudah kupersiapkan bahkan. Tapi hal yang dilakukan belahan jiwaku beberapa hari lalu buatku putuskan dia lebih baik tidak dilahirkan. Egois? Iya aku tahu, tapi itu lebih baik dibanding aku dituduh seumur hidup. Aku punya alasan.

Aku berjalan mendekati rak buku, kuambil satu buku favoritku, lalu duduk di kursi dekat jendela. Aku menghirup udara dingin malam ini, kulihat langit yang tak berbintang.

Aku bahkan tak bisa dengar apa yang suamiku katakan padaku setelahnya. Mimpiku seolah ambruk, aku terkecewa. Tak penting memang. Tapi sudahlah. Akupun tak peduli.

--

Monday, August 26, 2019

Kata orang jatuh cinta itu luar biasa. Sama seperti yang aku rasakan hari ini. Aku merasa sulit berpikir sejak kamu lepas pelukan itu. Keluar bandara aku bingung arah mana untuk menuju halte. Begitupun ketika di dalam bus menuju apartemen. Tak bisa aku menahan diri tak curi pandang. Sesekali kamu sadar, banyak kali lainnya kamu tak peduli. Kamu sempat bertanya, 'Is there something in my face?' juga canda 'Why are you keep looking at me? Do you wanna kiss me?' Katamu dengan muka menyelidik membercandaiku.

Aku bahkan tak sempat tawarkan bantu bawakan barangmu. Untunglah kamu tidak protes sama sekali. Tipikal wanita mandiri.

Sejak semalam, aku merasa ada yang sedikit berubah dari hati ini. Mungkin sebab peluk yang kamu beri atau karena akhirnya aku ada teman bincang semalaman?

Bagaimana tidak, aku hidup sendiri di apartemen ini. Apartemen yang tersewa karena aku ingin menghargai diri dan merasa nyaman ketika pulang dari kantor. Biasanya ketika penat aku hanya bisa buka jendela, menuju balkon, lalu menikmati sekaleng bir ditemani rokok dan pikiran penuh. Aku tak terbiasa bercerita, mungkin karena 

Atau sesederhana karena ada yang menarik perhatianku dan buatku ingin bertemu segera?

Am i being drama? Is it normal? Well, i don't care..

Sudahlah, ada baiknya aku pulang cepat, toh di sini aku tak bisa bekerja. Sedari pagi aku hanya buka-buka kerjaan tanpa mengerjakan satu apapun.

Aku kacau. Kacau yang menyenangkan.

--

Saturday, July 20, 2019

- Kantor -

'Ini sementara. Dia hanya liburan tak lebih dari seminggu. Kebetulan saja aku yang dia pilih untuk menumpang inap dan jadi teman perjalanan selama liburan.', Pikirku. 

Pagi ini aku begitu berbunga, ntah setan apa yang merasukmu semalam. Aku bahkan tak bisa fokus mengerjakan tugas apa yang diberikan oleh Profesor padaku. Yang kubayangkan adalah sesosok riang melambaikan tangan ketika pagi ini berangkat. Kepalaku masih sedikit berat, mungkin sisa wine yang kita nikmati semalam.

Ponselku bergetar. Kubiarkan. Aku memang tidak terbiasa mengawasi ponsel ketika bekerja, karena hanya akan menggangu fokusku saja.

Aku seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan thesis dan sibuk bekerja demi membayar biaya hidup di Prancis. Beasiswa yang kuterima hanya meng-cover biaya masuk universitas dan sebagian kecil biaya hidupku. Belum lagi pencairan beasiswa yang tidak teratur, bisa tiga hingga enam bulan sekali. Sisanya? Ya aku bertahan hidup sendiri. Karenanya, mana sempat aku habiskan waktu untuk bermain-main? Apalagi untuk memikirkan pacar, biaya untuk hidup saja sulit, apalagi untuk berpacaran. Tapi aku senang karena disini aku punya banyak sekali teman baru.

Ponselku sekali lagi bergetar. Aku masih ingin melanjutkan pekerjaan. Tapi kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tak melihat pesan apa yang masuk dan membuatnya bergetar.

Beberapa notifikasi masuk, salah satunya darimu.

'Have a great day! Dinner will be ready when you home. :)', Pesanmu.

Sebaris kalimat yang spontan membuatku tersenyum. 

--

Friday, July 19, 2019

Aku masih berdiri, dekat bench tak jauh dari pemanas ruangan, sembari cari kamu di antara orang-orang keluar dari pesawat. Aku coba lagi mengingat sebentuk wajah dari foto itu. Sial, aku bukan pengingat yang baik, sementara ponselku sudah mati.

Tak lama berselang, seseorang melihatku, bergegas mendekat. Aku canggung, aku ingin balas senyum tapi khawatir bukan aku orang yang dituju.

Aku melihat sekitar, siapa tahu ada orang selain aku.

Kamu semakin dekat, beri senyum yang masih kuingat.

'Hei!.', Katamu.

Aku masih diam, meyakinkan kamu bicara padaku. Lalu bertanya, 'Hi, It's Airin, right?'

'Haha, Yea it's me! you silly.' tiba-tiba kamu sergap aku dengan peluk. Aku cuma bisa bingung, bukan budayaku bertemu pertama dengan orang baru lalu berpelukan. Di negaraku pertemuan pertama biasanya diisi dengan bersalaman atau berbasa-basi. Bukan seperti ini.

Iya, Aku bisa baca pikiranmu ketika baca ini. Bahkan aku tak pernah berpikir bisa dapat peluk selamat datang seperti itu.

Bahkan aku tak balas peluk pertamamu kala itu.

Ah, Bodoh...

--

Wednesday, July 17, 2019

- Bandara -

Nafasku sudah normal saat ini, tadi jelas aku tersengal akibat mengejar bis terakhir menuju bandara. Untunglah terkejar. Aku duduk di bagian belakang bus tepat di sisi jendela. Favoritku adalah melihat pemandangan sepanjang kota. Tak terasa perjalanan sekitar satu jam terlewat sudah.

Dari kejauhan aku bisa melihat bangunan besar dengan menara khas sebuah lapangan terbang. Ya, Aku akhirnya sampai di tempat yang bahkan belum pernah kukunjungi ini. Bandar udara yang ternyata besar. Besar yang tak mungkin dikomparasi dengan beberapa bandara yang pernah kulihat di tanah air. Apalagi satu yang ada di kampungku.. Ah aku tiba-tiba rindu suasana kampung halaman.

Buspun sampai di halte, pintu terbuka, aku dan beberapa orang turun. Kutebak sebagian besar dari mereka akan melakukan perjalanan ke luar kota. Terlihat dari bawaan yang lumayan banyak dan cara buru-buru khas orang berangkat ke suatu tempat. Sepertinya malah hanya aku yang melakukan penjemputan, karena aku hanya menggunakan jaket tebal, jeans, dan boots favorit.

Hawa panas dari chaufage atau pemanas ruangan dari dalam bus lenyap berganti dingin suhu alam ketika aku turun. Bergegas aku memasuki bangunan dengan kaca besar mempertontonkan beberapa badan pesawat digantung di langit-langit ruangan. Iya, aku terpukau dengan cara orang-orang disini membangun sesuatu, semuanya sudah diperhitungkan tanpa melupakan sisi seni.

Semakin aku memerhatikan bagaimana tempat ini dibuat aku semakin kagum, ada beberapa bagian pesawat diatur di sisi-sisi bangunan hingga miniatur kapal selam lengkap dengan penjelasannya. Kotaku memang terkenal sebagai salah satu pangkalan militer laut terlengkap di dunia. Tak heran bila aku melihat beberapa kapal perang dan kapal selam melewati laut di depan kantor.

Kulirik jam di tangan kiriku, masih ada sekitar setengah jam lagi kamu sampai. Kubuka kembali ponsel untuk lihat pesan terakhir darimu sekitar setengah jam lalu, "Boarding already. i'll see you very soon!".

Aku terpikir untuk membalas, tapi sepertinya percuma. Toh kamu pasti sudah dalam airplane mode. Jadilah kuurungkan niat. Kucukupkan dengan menunggu saja di salah satu gate kedatangan domestik.

Ya, aku akhirnya akan bertemu dengan kamu, seorang asing yang akhir-akhir ini sering cerita banyak. Dari pengalaman jalan-jalanmu ke Spanyol, hingga sulitnya belajar di negaramu. Bermula dari ajakan tak serius untuk berkunjung ke kotaku di ujung barat Prancis yang kamu iyakan beberapa minggu lalu hingga beberapa waktu lagi aku akan menemuimu di tempat ini..

--

Tuesday, July 16, 2019

Monday, July 8, 2019

Chapter I - Barat Prancis

Tersentak aku terbangun. 

Kulihat jam di pinggir tempat tidur. 'Sial! Telat!', aku memaki diri.

Kuambil ponsel, segera kukirim sebaris imessage pada kontak yang akhir-akhir ini selalu berada di tempat teratas.

'Boarding already?', singkat lalu kukirim. Kutunggu sebentar tapi hanya checklist satu. Pertanda pesanku tak sampai. Ada dua kemungkinan, ponselnya mati atau sudah berada dalam pesawat menuju tempatku.

Bangun dari tempat tidur, segera aku bersiap. Hari ini kotaku begitu dingin. Cerah, tapi dingin. Sudah mulai masuk musim semi tapi tetap saja aku harus pakai baju tebal dan jaket musim dingin demi menghangatkan badanku yang terbiasa dengan iklim tropis. 

Sungguh aku malas untuk keluar di hari libur karena kuliah sembari bekerja yang kulakukan saat ini. Namun, aku terlanjur janjikan untuk jemput orang asing hari ini di bandara. Biasanya kuhabiskan waktu di akhir pekan untuk bermalas atau (bila terpaksa) ke kantor untuk selesaikan pekerjaan yang masih dan akan selalu menumpuk itu.

Perjalanan dari apartemenku ke bandara tak terlalu jauh sebetulnya. Tapi aku harus menggunakan bus dan berpindah satu koridor. 

Masalahnya ini akhir pekan, dimana frekuensi bus akan berkurang. Ditambah jadwal bus menuju bandara tidak tersedia hingga larut malam. Pada hari kerja, kendaraan umum akan ada hingga tengah malam, namun di akhir pekan hanya beroperasi hingga pukul sembilan malam saja. Terlebih untuk ke bandara, hanya tersedia sampai pukul 5 petang. Aneh kan?

Baiklah, aku keluar dulu. Bukan waktunya untuk mengeluh terus.

Sebelum keluar aku melirik sedikit jadwal bus yang kuletak di lemari baju. Memastikan aku tak ketinggalan dan harus keluar lebih mahal untuk sekedar jemput teman yang belum kukenal.

Baiklah, sudah sedikit mepet, kusiapkan badan untuk berlari sedikit kejar agar tak tertinggal. Kutarik nafas sedikit dalam, kubuka pintu apartemen, dan serta merta dingin menyeruak.

Aku berangkat.

--

Thursday, June 27, 2019

Prolog - Rumah (?)

Kuhisap sekali lagi rokokku yang akan segera habis ini. Kutahan sedikit lama asapnya sebelum kuhembuskan untuk terakhir kali. Aku hampir tak bisa bedakan antara menikmati nikotin atau hela nafas panjang berkali-kali.

Masih terpikirkan setumpuk pekerjaan di kantor yang sudah harus selesai esok pagi. Ntah, rasanya tak pernah habis sekalipun sudah kulembur berbulan ini.

'Ini rasanya menjadi pekerja.', Pikirku

Ternyata menjadi pegawai dengan gaji melangit tak selalu menjamin bahagia. Berbeda dengan khayal anak muda yang ingin punya gaji tinggi dan bisa punya segala. Percayalah, punya nyaman juga orang yang bisa menerima seperti apapun kita akan jauh lebih terasa berharga.

Kulihat dari balkon apartemenku lampu kota yang perlahan meredup. Sebentar lagi pagi. Aku menuju tempat tidur, untuk sekedar istirahatkan mata barang beberapa jam saja.

Hari ini berat sekali.

--

Tuesday, June 25, 2019

Ternyata saya lama tidak memakai headphone yg saya beli di Prancis kala itu.
Sederhana, alasannya karena sudah akan rusak, kurang enak dipakai karena busa yg ditempelkan ke telinga

Monday, June 24, 2019

Epilog - Stasiun Kotamu

Aku duduk di pinggiran platform. Orang lalu lalang mencari tujuan masing-masing.
Suara kereta terus mengadu. Pengumuman mengenai keberangkatan dan kedatangan tak berhenti keluar masuk di telingaku. Banyak raut muka melintas, kuperhatikan satu persatu. Senyum, sedih, cemas, buru-buru, tersatu dalam hiruk pikuk deru mesin kereta bagai berseteru. Hari ini aku menempuh perjalanan jauh lintas negara, untuk membalas kunjungan tak terdugamu.

Sementara ini, aku menunggu seseorang yang bahkan belum pernah kutemui, seorang temanmu..

Beberapa baris teks disertai permintaan maaf sudah ia berikan sejak beberapa jam lalu. Tak bisa tepat waktu karena ada urusan lain, katanya.

Ini kali pertama aku mendatangi kota asing ini. Bila bukan karena ini hari spesialmu, aku mungkin tak akan pernah rasakan hirup udara dingin ini. Jauh lebih dingin dibanding kotaku yang belum pernah terturun salju. Padahal ini sudah menjelang musim panas.

Ada satu pemandangan menarik, kala seorang lelaki muda menundukkan kepala sembari menggenggam erat rangkaian bunga mawar yang ia bawa. Kutebak ia sedang kecewa karena tidak jadi makan malam bersama siapapun yang ia rencanakan akan beri kembang itu. Mungkin, seperti itulah aku bila ternyata kamu menolak kedatanganku.

Kurasakan ada getaran halus di saku, Kuambil lalu kulihat kembali layar ponselku. Satu pesan masuk, 'Sorry, the exam just finished. Already on the train to pick you up. ;).'

Kujawab singkat, 'No worries.. Still at the same place. Lol.'

Sedikit melegakan, karena 3 jam sudah aku menunggu. Kusempatkan untuk berkeliling di kota asing ini. Selain dingin, kesan yang kutangkap dari kota ini adalah rapi dan asri. Semua orang berjalan di tengah kota asing dengan bahasa aneh yang tak kumengerti. Untunglah aku bawa kamera favoritku sembari rekam segala hal baru disini. Bahkan aku sempat ambil gambar bus yang dibungkus plastik. Aneh? Iya..

Aku masih melihat-lihat hasil foto yang kuambil siang ini ketika ada tepukan di bahu dan suara asing, 'C'mon, or you will miss the surprise party!'

Belum sempat aku menjawab, dia menarik tanganku.

Haha, ntah cerita apa lagi kali ini. Di kota asing yang akhirnya menjadi tempat favoritku yang lain di Eropa. Aku disini, di kotamu..


--
Ini hari ulang tahunmu!

Sunday, April 14, 2019

Tuesday, April 2, 2019

Buat apa iri?

Bila memang bisa, perbaiki.

Bila tidak?
Usaha lagi.

Sampai kapan?
Sampai saatnya berhenti..

--

Saturday, March 30, 2019

Chapter IV - Kembali ke Kotaku


Pagi ini aku bangun dengan suasana aneh.

Ini bukan tempat dimana aku biasa terbangun untuk bergegas berangkat kerja. Bukan tempat dimana aku biasa terbangun untuk segera bersibuk ria. Aku merasa hari ini sangat santai. Tak terbeban.

Kuperhatikan sekitar sembari mengumpulkan segenap nyawa. Aku baru sadar, ternyata aku di rumah!

Kepalaku sedikit berat, ntah karena kurang istirahat atau terlalu lelah. Sejenak diam, lalu kucoba mengingat kembali kejadian semalam. 

Aku kembali berkerjap, rasanya aku ingin kembali tidur. ketika tiba-tiba aroma kopi menyeruak. Tak lama lalu, aku melihatmu masuk membawa seulas senyum juga cangkir yang sangat kukenal.

‘Hey, good morning.’, Sapamu.

‘Hey.’, Jawabku. ‘Good morning.’

‘Is there something bothering you?’, Tanyamu. Aku menggeleng tanda semuanya baik saja. Aku mengantuk sekali.

Masih belum genap nyawaku terkumpul, tiba2 kurasa hangat di pipi.

Ah, aku dikecup.

Tak banyak aku mampu ingat, hanya beberapa kelebat scene yang terekam. Aku, kamu, dan beberapa teman. Kita dijemput mereka di terminal, untuk lalu berjalan-jalan, masuk ke dalam bar, lalu sedikit banyak percakapan, berfoto di tengah kota, dan sedikit bumbu cemburu kalau tidak salah..

Sial. Sepertinya aku sepertinya sedikit berlebihan semalam.

--
Part I

Tuesday, March 5, 2019

Tuesday, February 26, 2019

Sunday, February 24, 2019

Jakarta

Jakarta sang Ibukota, penuh dengan intrik dan suka duka. Jakarta bagiku adalah kota yang menyimpan cerita mengenai perjuangan dan persahabatan. Satu kota penghubungku dengan cerita luar benua. Satu kota yang menjadikan berjuang adalah hal yang begitu berharga dan layak untuk diceritakan.

Jakarta hanya akan jadi Jakarta, hiruk pikuknya begitu terasa menyebalkan tapi juga kurindukan. Kota yang jarang kuceritakan namun aku begitu ingin kembali padanya. Sekalipun selalu kusebutkan aku jengah bersama penuh polusinyanya, namun sesekali aku ingin kembali pulang, mengulang tanpa rasa bosan.

Jakarta akan terus jadi Jakarta, akan terus terdiam hari tanpa tertidur sedetikpun melihat sesaknya. Jakarta juga yang jadi saksi rindu dimana kita tak pernah bertemu sekalipun berdekatan. Mungkin tak sekarang, tapi di lain kesempatan. Mungkin nanti ketika kita bisa dengan leluasa bercanda tawa cerita masa muda yang penuh kebodohan. Mungkin juga, di kota lainnya.

Ya, bila waktu itu kita tak harus kembali melalui Jakarta, kita bisa saja masih bersama.

--

Tuesday, February 12, 2019

Aku terdatangi kamu sekali lagi, sosok menyenagkan selalu beri buai dalam mimpi. Meskipun sesekali, kamu selalu rutin beri kunjungan padaku kala terlalu lelah dan merindukan masa silam.

Kita memutuskan untuk saling berkenalan lagi. Anggap ini adalah pertemuan pertama dimana kita hapus semua apa yang terjadi lalu. Selamat datang kembali. :)

Ps. Membiarkan kupu-kupu beterbangan di perutku, aku main api..

Thursday, February 7, 2019

Bicaraku di sudut langit

Malam tadi kita tak jadi bertemu, sebut saja itu konspirasi alam yang seringkali buatku termangu..
Mungkin kamu masih tenggelam dalam duniamu, terlihat asik mencari ntah apa yang kutak mengerti. Aku disini hanya mematung sembari memandangi gambar bergerak dimana ada aku kamu, membayangkan sembari mengagumi lekuk juga indah dirimu.

Aku tahu kamu sedang lelah hadapi dunia
Namun seringkali dunia tidak berjalan sesuai dengan rencana memang. Bahkan, ada sesuatu yang buatku harus terus menahan dan bersabar, bukan jadi aku yang dulu.
Sementara kamu rindukan masa begadang hingga pagi karena pekerjaan, aku merindukan rasanya bisa pulang dalam dekapan, diperhatikan dan diberi waktu. Kita memang lucu.

Kita berbeda, karena aku kamu tumbuh dalam ekosistem dan suasana yang berbeda pula.
Kita betul-betul sadar kita tak saling kenal, karena ketidaksengajaan yang disengaja sajalah yang buatku denganmu kini.
Tapi menyenangkan bukan?

Aku bukanlah aku yang biasa diam menunggu, tapi entahlah, kali ini aku hanya ingin tahu dimana batas kesabaranku terhadapmu. Batas yang sudah kubulatkan akan selalu kutambah kapasitasnya. Mengapa? Sudah jelas agar kamu merasa nyaman dengan aku.

Rindu ini membuncah sekalipun mungkin tak sampai padamu. Dada ini sesak karena penuh akan asa rasa yang mungkin tak terasa olehmu.

Di sudut langit malam ini, kutitip rindu untuk kau ambil esok pagi.
Selamat beristirahat dengan sisa kecup yang tak kau sadari kuberi, saat engkau pergi terlelap tadi.
Selamat malam menjelang pagi, Matahari.

--
J

Tuesday, February 5, 2019

Teruntuk kamu yang pergi terlebih dahulu.

Malam tadi aku menemuimu, kita berujar sapa di tepian jalan. Kita bicara banyak, dan sekali lagi aku mengeluh padamu, sementara kamu hanya beri senyum seperti biasa. 

Kamu begitu nyata, dan sebelum mata ini terbuka, kamu sempat bilang 'selamat tinggal'. 
Kata yang tak pernah terucap bahkan di kali terakhir kita bertemu.
Dan sebelum mimpi itu berakhir, kamu beri aku peluk,.

Erat yang menghangatkan, erat yang beri nyaman. Ah, Aku rindu.

Kita pernah menjadi pelengkap satu sama lain. Aku pernah sekuat tenaga mengejarmu, walaupun pada akhirnya kamulah yang membuat nyawa ini hilang, jiwa ini tak lagi labuh ketika kamu pergi. Kamu begitu lekat, hingga kehilanganmu adalah peristiwa yang ingin kuhapus dari otakku.

'Bagaimana kabarmu?'
Adalah pesan yang lama ingin kutanyakan sejak dulu.
Tapi alih-alih mengenyampingkan ego, kutinggikan harga diriku justru.
Padahal aku tahu, itulah yang bikin aku semakin kehilanganmu.

'Nona, Kamu dimana?'
Adalah tanya tak terucap sejak lama.
Yang begitu sering kutuliskan namun tak pernah tersampaikan.
Biar, biarlah mengusang tertutup debu masa lalu hingga bersawang.

Aku tak lagi mendengar kabarmu, mungkin ego juga harga diri yang kupertinggi, 
Padahal aku tahu, sulit untuk dapatkan pengganti senyaman dirimu.

Ya, kita tak lagi bersama tanpa ada yang memutuskan. Kita hanya saling membiarkan di tengah dingin kota itu. Walaupun aku tahu, nadi ini mungkin tak lagi teraliri merah kala kau benar pergi.

(jeda)

Begitu terbangun di dalam tenda, Akupun menyeruak keluar, menghampiri malam yang belum juga hilang. Menengadah dalam gundah, aku bicara satu arah dengan Tuhan, menyampaikan pesan untuk masa lalu. Masa aku tak peduli dengan dungu.

Haha. Aku begitu bodoh menelantarkan perjuangan kita kala itu. Ntah kenapa inginkan kamu, mungkin karena aku tahu, doa kita tertuju pada Tuhan yang tak sama. 

'Kalau doaku tak dikabulkan Tuhanku, mungkin Tuhanmulah yang akan kabulkan doa kita.', Candamu waktu itu.

Nona, di sepertiga malam ini, aku menitipkan rindu. 

Teruntuk kamu, yang telah pergi terlebih dahulu..

--
Ps. Musikalisasi puisi pertama tahun ini!

Sunday, February 3, 2019

2 Februari 2019

Aku menulis ini harusnya tanggal 1 yang baru terpikirkan tanggal 2 namun baru kutulis di penghujung tanggal 3 bulan dua tahun dua ribu sembilan belas.

Februari selalu membawa bahagia. Terima kasih masih sudi bertemu lagi tahun ini.

Mendua, mendewasa..

Bersama (?)

Biar Tuhan yang memberi jalan. Karena manusia terlalu pendek akal yg dipunya.

Terima kasih. :)

Friday, January 25, 2019

Februari

Selalu ada cerita istimewa di Februari. Ntah mengenai pertemuan, perpisahan, perulangan kembali, segala awal dan akhir seringkali terjadi di Februari.
Selalu saja istimewa karena bulan dua adalah yang paling kusukai. Ntahlah karena akan akan tabir yang terungkap, perjalanan rasa, atau bahkan pemberhentian.

Aku selalu menyukainya.

Maafkan aku atas bulan lain, karena tidak akan pernah seistimewa Februari.
Ya, dia seistimewa itu, dan tak terganti.

Menua, mendewasa, melihat masa lalu untuk mempersiapkan masa depan.

Aku tak lagi muda,  tak akan memuda di tiap Februari, tapi pendewasaan inilah yang membawaku di titik ini. Kali ini pasti akan ada cerita berbeda dari sosok yang selalu berbeda, lalu lalang, datang pergi. Aku tak peduli.

Januari, aku tak sabar mengenai Februari.

--
J

Thursday, January 17, 2019

Ada beberapa hal yang mungkin
tak untuk terpenuhi. Atau
untuk diusahakan.

Seperti kamu yang dengan
dingin.

Benci aku dengan
aku.

Rindu

Iya.. sekangen itu!

Wednesday, January 9, 2019

"Kamu ga seharusnya gitu.."

Dengan mudahnya beradu himpit saling padu..
Terlalu keju, katanya. Aku yang merasa menggebu, kamu ingin senangkanku.

Iya, kita ga seharusnya gitu.