Monday, December 23, 2019

Aku tertegun di tempat dudukku, membayangkan novelku yang tak jadi kuselesaikan. Menyedihkan karena aku harus berangkat pindah ke negara lain. Meninggalkan pekerjaan lamaku, mengejar studi lanjut. Suatu capaianku paling keren dalam hidup.

Aku menikmati perjalanan pertamaku ke luar negeri ini. Baru ini aku rasa terbang setinggi ini. Ntah berapa ribu meter dari permukaan bumi. Cara pesawat ini meredam getaran, ukuran burung besi yang begitu besar, kenyamanan kursi kelas ekonomi yang bagai kelas satu, dan semua hal baru lain.

Kulirik jam, sudah hampir delapan jam aku mengudara. Berarti sebentar lagi aku akan landing di terminal internasional di Doha. Perjalananku dibiayai negara dan aku begitu bangga atas raihan itu.

Kulepas headset yang menempel di telinga dan terhubung pada kursi pesawat. Kusenggol perempuan di sebelahku, teman seperjuangan yang beberapa bulan terakhir banyak bersamaku demi mengejar beasiswa negara.

'Koyone wis meh tekan, Mbak (Kayanya udah mau sampai, Mbak).' aku berujar padanya.

'Hé èh, wis pegel ki aku, Cip. (Iya, aku udah pegel nih).', dia membalas.

Tak lama dia kembali terlelap. Aku mahfum karena kami take off dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 00.25. Baru sedikit lewat tengah malam. Bukan kebiasaannya mungkin begadang. Mataku begitu lebar terbuka di tempat ini. Tapi, itu bukan berarti aku tidak lelah. Aku lelah, tapi rasa penasaran juga semangat menyambangi tempat baru buatku punya tenaga lebih, terlalu bersemangat bahkan.

Hari kemarin aku masih di kota kelahiranku dan beranjak ke Ibukota untuk urus dokumen terakhir di sebuah kementerian. Selarik surat yang buatku legal pergi menuju benua baru. Beberapa paragraf yang menyatakan akulah seorang pantas penerima bea dari negara.

Aku kembali pandangi langit di kejauhan. Jamku menunjukkan pukul 08.13 namun ufuk langit masih terlihat biru. Matahari belum juga muncul dari peraduan, lama sekali proses terbitnya. Mungkin karena penerbangan ini menuju barat, sehingga terbit matahari terkesan lama. Proses matahari terbit kala itu memiliki durasi terlama terjadi dalam hidupku, dan paling berkesan.

Aku sekali lagi tenggelam pada sejuta pikiran dan angan. Bayangan hidup di tempat baru. Lintasan wajah mereka yang baru saja kutinggalkan dan telah kurindu. Serta misteri apa saja yang mungkin terjadi selama aku menempuh hidup di negara itu.

Matahari belum juga muncul. Ujung langit merekah jingga. Sangat indah.

Aku masih terus tersenyum ketika kurasa perlahan ketinggian kami berkurang. Halus sekali. Mataku masih lekat di jendela, kami menuruni awan, tak lama terlihat lampu kota. Kusenggol sekali lagi perempuan di sebelahku.

'Mbak, wis tekan (Mbak, sudah sampai).', Ujarku.

--
Doha, 09.10

No comments:

Post a Comment