Wednesday, March 4, 2020

Mendung di Penghujung Hari

Mendung di penghujung hari. Masih menjadi keseharianku beberapa tahun terakhir. Menikmati perginya sang hangat tertutup mega kelabu berlalu perlahan.

Menunggu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tapi akan selalu menjadi terbayar ketika yang ditunggu membuahkan hasil.

Perlintasan lalu lalang tak berhenti sedari pagi. Terlihat cemas di banyak wajah mengemudi. Aku berhadap pada dua layar monitor. Satu kuguna menghitung, yang lain untuk seni. Bukan hal baru karena sejak dulu aku terbiasa mengerjakan segala.

Tahu apa yang aneh? Aku merasa inilah rutinitas yang dulu kubenci. Yang tak pernah kuharapkan sama sekali. Dulu.

Tapi nyatanya biasanya yang kamu benci itulah yang akan membersamai hidup. Yang paling kau hindari itulah yang nanti akan melengkapi. Aku dengan kehidupanku kini. Lelahkah aku?

Teringat satu cerita seorang yang ingin mengakhiri hidup beberapa hari lalu. Ini bukan yang pertama kali juga bukan orang pertama. Namun hati ini selalu bergetar kala kubertemu cerita soal memotong nadi atau menghempas badan dari atas penyebrangan. Mengapa? Karena dulu aku pernah di posisi itu. 

Aku merasa beruntung sekali beberapa kawan mau cerita soal sedihannya. Bukan berarti aku mencari hati atau perhatian, bukan. Hanya aku tahu persis rasanya ingin mati. Tak mengenakkan. Hitam.

Depresi katanya. Bukan kata-kata yang bisa diucap bermain makna. Bila tak terbiasa dan terpendam, mengakhiri hidup adalah salah satu pilihan paling masuk akal. Tak tercegah kecuali diceritakan atau menjadi tenang.

Pada siapapun yang membaca tulisan ini, Tuhan selalu punya cara untuk mengakhiri hidup memang. Tapi setidaknya, jangan kau gubris pikiran untuk memutuskan nadimu sendiri. Karena hidup akan menjadi masuk akal suatu saat nanti. Karena sesulit apapun saat ini, akan ada saatnya alasan itu terungkap.

Suatu saat, lelah inipun akan terbayar. Pasti.

--
Basamu menyeruak. Bulirmu sudah turun ternyata.

No comments:

Post a Comment