Saturday, June 6, 2020

Memuja Gelar

Barusan suatu grup alumni lulusan luar negeri ramai. Ramai yang tiba-tiba. Menyoal seorang rekan yang menikah tanpa memasukkan gelar akademik yang diterima dari sebuah universitas ternama di sebrang benua.

- ada yang setuju
- ada yang tidak setuju
- ada yang tidak peduli

Terlepas setuju tak setuju, bagi saya pencantuman gelar akademik bukan sebuah masalah. Pride? Bisa jadi. Aktualisasi? Boleh saja. Saat ini, bagi saya tidak penting. Tidak tahu besok ya. Ehehe.

Terserah, tiap pihak boleh berpendapat. Yang tidak berpendapat juga tidak masalah. Saya kala ini di golongan yang ketiga soalnya. Mau diberi atau tidak ya tidak masalah. Itu informasi kok. Mau diterima bagus, engga ya gapapa. Ga dicantumkan? Ya bukan sebuah masalah juga.

Karena semakin menua, saya semakin sadar. Bermasyarakat bahkan bernegara seringkali tidak memerlukan gelar untuk memilii suatu kualitas. Ada yang sudah bergelar doktoral di usia muda, tapi ketika terjun ke lapang masih harus belajar. Ada yang tidak memiliki gelar di bidang tertentu tapi nyatanya ahli di bidangnya. Gelar itu untuk menunjukkan ahli di bidang tertentu, capaian tertentu. Tapi menyoal kualitas? Tergantung batu asahan yang dipakai sepanjang perjalanan nafas ditarik-hembus.

Saya? Saya mencantumkan gelar. Hehe.

Hidup itu pembelajaran.

--
Preference. Gausah diributin. 
Tapi kalau prefer ribut? Ya silahkeun...

No comments:

Post a Comment