Tuesday, January 26, 2016

Bulan bintang, Palang.

Dan aku selalu iri melihat mereka yang bertemu di saat yang tepat, saling mengisi dan memberi. Saling membanggakan.
Pernah sekali aku lewati itu.. rasa membuncah seperti gelas yang tak pernah penuh sekalipun terus-menerus diisi. Puji dan pembelaan satu sama lain, serta keberhargaan kepemilikan di masing-masing pribadi. Hingga saat dia begitu berani. Keberanian kejujuran diri, meminta untuk berganti, padahal sudah jelas itu adalah harga mati.

...

Lama aku lupa rasa itu, coba tunduk pada garis penuntun, bahwa beda akan menjadi penghalang utama dari sebuah kebiasaan, dari sebuah toleran.
Hingga sekali lagi, aku dipertemukan dengan makhlukMu.


Pun aku tak menerka, genggaman itu mampu berdampak seburuk ini.. Aku retak, perlahan kau kikisi pertahananku hingga batas akhir dalam tempurung rasa yang harusnya hanya satu. Kau buat gamang. padahal aku ingin 'tuk tak lagi jatuh dan/atau tenggelam dalam spektrum rasa pada warna yang berbeda. Dosakah?


Pertama kamu datang, diam, tak banyak bicara, tersenyumpun tidak, apa peduliku?
Hingga kamu terlihat menggigil, lelah, bahkan muntah.
Lama kuperhatikan. Akhirnya kau kugapai, kutarik, kujaga hingga puncak, dan kamu berhasil melihat nyala biru itu..
Diakhiri dengan rintik hujan kala singgah sebentar mendengar debur seraya mengantar surya pulang ketika malam datang. Kita bercerita sebentar, bertautan tapi tanpa pasal. Hanya mengandalkan perasaan, jujur yang menyakitkan, bukan?

Ah persetan, saat ini aku hanya ingin bahagia, tak perduli apakah yang kuminum airnya jernih atau bahkan berbusa.

Maka ikhlaskan beda tetap ada. Biar aku berdoa pada Tuhanku, kau berdoa pada Tuhanmu. Karena, pun salah satu doa pada Tuhan kita tak dijawab, kita punya satu cadangan doa lagi sebagai harapan.

--
Tuhan, bila memang ini salah, maka Engkau adalah sebaik-baiknya pemberi maaf.

No comments:

Post a Comment